Kamis, 04 Oktober 2012

Desa Bajawa - NTT

Nama Bajawa menurut penuturan masyarakat setempat berasal dari kata bhajawa. Bhajawa adalah nama salah satu nua yaitu rumah atau kampung terbesar dari tujuh kampung yang berada di tepi barat kota Bajawa. Kata "bha" artinya piring dan "djawa" berarti Pulau Jawa atau perdamaian.
Bajawa dengan penduduk sekitar 45.000 meski tidak semodern kota kabupaten lain di Nusa Tenggara Timur lainnya tetapi cukup cantik alamnya dan juga bersih udaranya. Di sini udaranya cukup dingin dan sejuk tetapi telah dihangatkan keramahan penduduknya yang bersahabat.
Kota Bajawa dihubungkan jaringan jalan arteri dari kawasan paling timur Pulau Flores yaitu dari Larantuka melewati kota Bajawa hingga ke bagian Flores Barat yaitu kota Labuan Bajo.
Di kota Bajawa dan sekitar Gunung Inie Rie akan Anda nikmati udara sejuk dan berpanorama alam yang indah. Bentang alam yang sangat indah tersajikan di sini seperti Laut Sawu di selatan dan Gunung Ebulobo di timur. Di Kota Bajawa sendiri dapat Anda lihat bangunan-bangunan lama berupa gereja yang masih nampak indah dan terawat sebagai  salah satu peninggalan penguasa kolonial.
Adalah Kapiten Christoffel dan pasukan kolonialnya yang berhasil menguasai Larantuka, Sikka, dan Ende, pada 27 Agustus 1907. Berikutnya mereka mencoba menaklukkan Ngada. Pergolakan pun terjadi di Rowa, Sara, Mangulewa, dan Rakalaba tetapi barhasil ditekan hingga 12 September 1907. Akhirnya tahun 1910 seluruh wilayah Flores dikuasai Pemerintah Kolonial Belanda.
Pemerintahan Hindia Belanda mencoba menerapkan bentuk pemerintahan baru yang belum pernah dikenal oleh masyarakat Flores, termasuk Ngada yang secara turun temurun mengenal sistem pemerintahan otonom berbentuk nua, ulu eko, dan woe yang tradisional dan tak ada yang lebih tinggi darinya. Pemerintahan Hindia Belanda membentuk pemerintahan yang diarahkan agar suku-suku dapat disatukan dimana asalnya selalu berseteru dan berperang satu sama lain. Pendidikan pun didatangkan dari Larantuka sehingga masyarakat dapat membaca dan menulis, termasuk belajar agama Katolik.

Kegiatan
Tak jauh dari jalan utama di Bajawa, yaitu Jalan Soekarno-Hatta, Pasar Bajawa begitu sederhana namun banyak yang mengakui bahwa pasar ini termasuk di antara yang terbersih di Indonesia Timur. Hal yang paling menarik di sini bukan karena komoditi yang dipasarkan tetapi interaksi antara penjual dan pembeli yang terkenal senang berbincang-bincang dengan keramahannya.
Dusun Benadan Wogo sudah tentu disebut-sebut sebagai desa tradisional yang memiliki daya tarik luar biasa bagi petualang yang menyukai adat budaya asli. Di Bena yang letaknya 16 km dari Bajawa ditemukan jajaran rumah-rumah tradisional dengan formasi batu-batu pemujaan yang tidak populer dengan bentuk rumah yang memukau. Bukan karena kemewahannya tetapi karena kemegahan tradisinya yang dipertahankan. Lihatlah Ngadhu dan Bhaga di tengah desanya. Walau mereka yang menuju ke Bena bisa mencapainya dengan kemudahan kendaraan hingga lokasi, Bena tetap menarik dan paling populer untuk dikunjungi.
Mereka yang ingin merasakan campuran antara keaslian tradisi yang melebihi sekadar desa tradisional dan keaslian masyarakatnya maka trekking menuju satu desa yang lebih terbilang asli dapat dirancang dalam agenda perjalanan ke Dusun Belaraghi. Anda bisa bermalam di desa ini dalam kedamaian alam dan budayanya. Ada lima klan yang mengawali pembinaan desa tradisional ini. Ngadhu dan Bhaga pun memancang di tengah masyarakatnya. Lihat ukiran kuda, naga, dan terutama ayam yang disebut manu jawa.
Belaraghi dapat ditempuh dari Desa Beiposo dekat Bajawa dengan trekking sejauh kira-kira 11 kilometer atau dari Desa Paukete di dekat Aimere yang tidak begitu jauh dengan melalui bukit-bukit yang berada di selatan Pulau Flores sejauh 3 kilometer. Dari atas bukit ini terlihat ladang yang teramat luas hingga laut yang seakan tak berbatas. Belaraghi menampilkan kesederhanaan yang hampir sempurna untuk dinikmati.
Bagi mereka yang tidak begitu banyak memiliki waktu luang di Ngada namun ingin melihat desa tradisionalnya, Gurusina adalah alternatif terbaik. Di sana dapat  dilihat kekayaan budaya Ngada seutuhnya, mulai dari rumah tradisional, sao pu’u, a sa’o lobo, ngadhu, dan bhaga. Di Gurusina kegiatan bercocok tanam lebih ke arah penanaman jagung, kelapa, pisang dan juga kopi, cengkeh, kakao, serta kemiri. Menenun dan menganyam adalah kegiatan untuk para perempuan sebagai penghasilan tambahan. Jarak ke Gurusina sekitar 19 km dari Bajawa ke arah Bena, terus lewati desa tradisional Bena dan ikuti arah ke Gurusina untuk sejauh 4 km dari persimpangan.
Bumikita adalah tempat selanjutnya untuk menghilangkan rasa pegal atau jenis gangguan kesehatan lainnya saat berada di Ngada. Bumikita adalah sebuah sebuah pusat kebugaran yang dikelola oleh Ibu Maria Re’o atau sering disebut Mama Mia. Ia terkenal ramah dan murah senyum. Proyek obat-obatan tradisional yang ditanam di kawasan Bumikita adalah andalan pusat kebugaran yang terletak di Desa Ndaru ini. Tempatnya asri, tak jauh dari Bajawa.
Bila ingin menikmati aliran hangat menyelimuti tubuh di keaslian alam Flores, datanglah di pusat pemandian mata  air panas di Soa yang bernama Mengeruda Hotspring. Air yang begitu besar debitnya keluar dari bawah pohon besar dan jernih airnya begitu memesona. Aliran airnya bercampur dengan sungai air dingin dan akhirnya menyajikan air hangat yang menggelontor dari ketinggian yang menghasilkan seperti air terjun. Para wisatawan asing nampak tertidur di atas batu yang dialiri air hangatnya. Mereka bisa berlama-lama di sana untuk menghilangkan kepenatan dalam petualangan. Tempat ini sekitar 23 km dari Bajawa.
Di Ngada terdapat acara tahunan yang merupakan acara tahun baru bagi suku etnis Ngada yang disebut Reba. Acara ini melibatkan berbagai desa tradisional dan tak dipungkiri lagi, acaranya begitu semarak dan penuh keceriaan tradisi Ngada. Di hari kedua Reba, yang disebut Sedo Uwi, masyarakat akan mengenakan baju tradisional terbaik mereka dan fotografer akan begitu puas dengan hari kedua ini.
Tinju tradisional merupakan salah satu acara masyarakat lainnya yang menarik begitu banyak massa. Di Soa, masyarakat menyebutnya sagi. Di tempat lain seperti di Nagekeo, mereka menyebutnya mbela. Di Boawe, tinju tradisional ini disebut etu. Sejarahnya memang tak jelas, tapi arena atau kisanatha ini tak pernah sepi karena di sinilah para pemuda unjuk kegagahan, ingin membuktikan kejantanan, keterampilan, dan daya tarik memikat wanita mereka. Mereka mengenakan kain tradisional di badannya yang hampir tak berpelindung, juga sebuah tai kolo atau wholet, sebuah bilah batang aren yang dibalut kain dan berhias kulit kerbau. Sagi ini hanya dilakukan pada waktu tertentu yang ditetapkan oleh adat. Bila dilakukan di luar waktu maka ada sangsi adat yang dijatuhkan.

sumber : travel.kompas.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar